Sabtu, 26 Februari 2011

Teka-teki SanG Hujjatul Islam (Imam Al- Ghozali)

Teka-teki Imam Al-
Ghazali
oranges matahari domaining posted
Suatu hari, Imam Al-Ghazali
berkumpul dengan murid-muridnya
lalu beliau bertanya (Teka Teki ) :
Imam Ghazali = ‘ Apakah yang
paling dekat dengan diri kita di
dunia ini ?
Murid 1 = ‘
Orang
tua ‘
Murid 2 = ‘ Guru ‘
Murid 3 = ‘ Teman ‘
Murid 4 = ‘ Kaum kerabat ‘
Imam Ghazali = ‘ Semua jawapan
itu benar. Tetapi yang paling dekat
dengan kita ialah MATI. Sebab itu
janji Allah bahawa setiap yang
bernyawa pasti akan mati ( Surah
Ali-Imran :185).
Imam Ghazali = ‘ Apa yang paling
jauh dari kita di dunia ini ?’
Murid 1 = ‘ Negeri Cina ‘
Murid 2 = ‘ Bulan ‘
Murid 3 = ‘
Matahari

Murid 4 = ‘ Bintang-bintang ‘
Iman Ghazali = ‘ Semua jawaban
itu benar. Tetapi yang paling benar

adalah
MASA LALU. Bagaimanapun
kita, apapun kenderaan kita, tetap
kita tidak akan dapat kembali ke
masa yang lalu. Oleh sebab itu kita
harus menjaga hari ini, hari esok dan
hari-hari yang
akan datang
dengan
perbuatan yang sesuai dengan
ajaran Agama’.
Iman Ghazali = ‘ Apa yang paling
besar didunia ini ?’
Murid 1 = ‘ Gunung ‘
Murid 2 = ‘ Matahari ‘
Murid 3 = ‘ Bumi ‘
Imam Ghazali = ‘ Semua jawaban
itu benar, tapi yang besar sekali
adalah HAWA NAFSU (Surah Al
A’raf: 179). Maka kita harus hati-
hati dengan nafsu kita, jangan
sampai nafsu kita membawa ke
neraka.’
IMAM GHAZALI’ Apa yang paling
berat didunia? ‘
Murid 1 = ‘ Baja ‘
Murid 2 = ‘ Besi ‘
Murid 3 = ‘ Gajah ‘
Imam Ghazali = ‘ Semua itu benar,
tapi yang paling berat adalah
MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Azab :
72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang,
gunung, dan malaikat semua tidak
mampu ketika Allah SWT meminta
mereka menjadi khalifah pemimpin)
di dunia ini. Tetapi manusia dengan
sombongnya berebut-rebut
menyanggupi permintaan Allah SWT
sehingga banyak manusia masuk ke
neraka kerana gagal memegang
amanah.’
Imam Ghazali = ‘ Apa yang paling
ringan di dunia ini ?’
Murid 1 = ‘ Kapas’
Murid 2 = ‘ Angin ‘
Murid 3 = ‘ Debu ‘
Murid 4 = ‘ Daun-daun’
Imam Ghazali = ‘ Semua jawaban
kamu itu benar, tapi yang paling
ringan sekali didunia ini adalah
MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara
pekerjaan kita atau urusan dunia,
kita tinggalkan solat ‘
Imam Ghazali = ‘ Apa yang paling
tajam sekali di dunia ini? ‘
Murid- Murid dengan serentak
menjawab = ‘ Pedang ‘
Imam Ghazali = ‘ Itu benar, tapi
yang paling tajam sekali didunia ini
adalah LIDAH MANUSIA. Kerana
melalui lidah, manusia dengan
mudahnya menyakiti hati prasaan saudaranya sendiri

Teka-teki Imam Al- Ghazali | 2LiSan.Com

Teka-teki Imam Al- Ghazali | 2LiSan.Com

Senin, 03 Januari 2011

Penyelarasan syare'at Islam versi Hujjatul Islam (Imam Ghozali)

“Ketika masih muda,
aku menyelami samudera yang
dalam ini. Aku menyelaminya
sebagai penyelam handal dan
pemberani, buka sebagai penyelam
penakut dan pengecut. Aku
menyerang setiap kegelapan dan
mengatasi semua maslah,
menyelami kegoncangan. Aku teliti
aqidah setiap kelompok dan
menyingkap rahasia cara pikir
setiap golongan, agar aku bisa
membedakan antara kelompok
yang memperjuangkan kebenaran
dan kelompok yang
memperjuangkan kebathilan, agar
bisa membedakan antara pengikut
sunnah dan pencipta bid’ah”.
. A. Al-Ghazali dan Tasawuf
Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’
besar yang sanggup menyusun
kompromi antara syari’at dan
hakikat atau tasawuf menjadi
bangunan baru yang cukup
memuaskan kedua belah pihak,
baik dari kalangan syar’I
ataupun lebih-lebih kalangan sufi.
[1]
Berbagai macam buku yang
membahas tentang sepak terjang
Al-Ghazali yang tumbuh kembang
pada masa dimana banyak muncul
mazhab dan goolngan. Ketika itu,
beragam kecenderungan berfikir,
baik yang bernuansa agama
maupun rasio, berbenturan dan
beradu argumentasi. Al-Ghazali
merasakan dirinya di antara
mazhab yang terpecah belah,
kelompok-kelompok perusak,
filsafat asing dan bid’ah-bid’ah
pemikiran. Sehigga tergambar
dalam bait kata-katanya yang
begitu menggugah hati dengan
gemuruh semangat dan
keberanian;
“ketika masih muda, aku
menyelami samudera yang dalam
ini. Aku menyelaminya sebagai
penyelam handal dan pemberani,
buka sebagai penyelam penakut
dan pengecut. Aku menyerang
setiap kegelapan dan mengatasi
semua masalah, menyelami
kegoncangan. Aku teliti aqidah
setiap kelompok dan menyingkap
rahasia cara pikir setiap golongan,
agar aku bisa membedakan antara
kelompok yang memperjuangkan
kebenaran dan kelompok yang
memperjuangkan kebathilan, agar
bisa membedakan antara pengikut
sunnah dan pencipta bid’ah”.
[2]
Dengan demikian tidak ayal al-
Ghazali merasakan dirinya
berhadapan dengan samudera
luas, dengan gulungan ombak
yang sangat dahsyat dan dalam.
Dia tidak memposisikan dirinya
sebagai “penggembira” yang
hanya ikut-ikutan dalam
gelombang dahsyat itu. Dia tidak
merasa takut terhadap luasnya
samudera, kedalaman dasar
samudera dan besarnya
gelombang. [3]
Dasar ajaranTasawuf adalah cinta
rindu untuk berhubungan dengan
kekasihnya Allah SWT, dan berasik-
maksyuk dengan Dia.[4]
Perkembangan yang cukup
menarik adalah timbulnya
kesadaran dari dalam untuk
memoderasi ajaran Tasawuf, dan
untuk mengeliminir konflik antara
syari’at dan tasawuf atau
hakikat. Upaya ini walaupun tidak
akan berhasil memuaskan
sepenuhnya, namun cukup
konstruktif dan positif.
Pertentangan antara hakikat dan
syari’ah bisa diperkecil. Namun
sebaliknya menimbulkan konflik ke
dalam antara golongan yang lebih
ortodoks dengan sufisme murni
yang lebih heterodoks (pantheis).
Disamping itu kelemahan yang
mendasar dari kompromi ini,
umumnya terletak pada
penghargaan terhadap Tasawuf
(hakikat) selalu dipandang lebih
tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali
misalnya membagi iman menjadi
tiga tingkat, dan yang paling tinggi
adalah para arifin (sufi). Ajaran ini
diterangkan sebagai berikut;
“Keimanan tingkat awal, imannya
orang-orang awam, yakni iman
dasar taklid.
Tingkat kedua, imannya para
mutakallimin (teolog), atas dasar
campuran (taklid) dengan sejenis
dalil.
Tingkatan ini masih dekat dengan
golongan awam.
Tingkat ketiga, imannya para arifin
(sufi) atas dasar pensaksian secara
langsung dengan perantara nurul
yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III,
hal. 15).[5]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa
ahli ilmu kalam, filosof dan kaum
Batiniyah tidak mampu
mengantarkannya mencapai
keyakinannya dan hakikat, maka
dia melirik tasawuf yang menurut
pandangannya adalah harapan
terakhir yang bisa memberikannya
kebahagiaan dan keyekinan. Ia
mengatakan, “setelah aku
mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam,
filsafat, dan ajaran bathiniyah),
aku mulai menempuh jalan para
sufi.”[6]
Para sufi banyak berbicara tentang
kasyf dan mu’ayanah, mampu
berhubungan dengan alam
malakut dan belajar darinya secara
langsung, mampu mengetahui
lauhul-mahfuzh dan rahasia-
rahasia yang dikandungnya.
Namun, bagaimanakah caranya
agar manusia mampu
mendapatkan kasyf dan
mu’ayanah? Para sufi menjawab,
caranya dengan menuntut ilmu
dan mengamalkan ilmu yang
didapatkan. Al-Ghazali
mengatakan, “Aku tahu bahwa
tarekat mereka menjadi sempurna
dengan ilmu dan amal”[7]
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli
mulai mendapatkan ilmu kaum sufi
dari kitab Qut Al-Qulub
Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu
Thalib Al-Makki dan kitab Ar-
Ri’ayah li Huquq Allah karya
Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-
ucapan pucuk pimpinan sufi
semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-
Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali
mengatakan, “Mendapatkan ilmu
Tasawuf bagiku lebih mudah dari
pada mengamalkannya. Aku mulai
mempelajari ilmu kaum sufi dengan
menelaah kitab-kitab dan ucapan-
ucapan guru-guru mereka. Aku
mendapatkan ilmu dengan cara
mendengar dan belajtar.
Nampaklah bagiku bahwa
keistimewaan guru besar sufi tidak
mungkin digapai dengan cara
belajar, tetapi dengan cara dzauq,
hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara
Tahalli (menghias diri dengan sifat-
sifat utama), Tkhalli
(membersihkan firi dari sifat-sifat
yang rendah dan tercela) agar
manusia dapat memberesihkan
hati dari pikiran selain Allah dan
menghias hati dengan berzikir
kepadaNya. Al-Ghazalai
mengatakan, “Adapu manfaat
yang dicapai dari ilmu sufi adalah
terbuangnya aral yang merintangi
jiwa, mensucikan diri dari
akhlaknya yang tercela dan
sifatnya yang kotor, hingga
dengan jiwa yang telah bersih itu
hati menjadi kosong dari selain
Allah dan dihiasi dengan dzikir
kepada Allah.”[8]
Di dalam kitab-kitab Ihya’
‘Ulumuddin, Al-Ghazali menulis,
“Bagi hati, ada dan tiadanya
sesuatu adalah sama. Lantas,
bagaimanakah hati meninggalkan
semua urusan Dunia? Demi Allah,
ini adalah jalan yang sangat sukar;
jarang sekali ada manusai yang
sanggup melakukannya”[9]
Cukup lama Al-Ghazali berada
dalam situasi tarik menarik antara
dorongan hawa nafsu dan
panggilan akhirat, hingga akhirnya
ia merasa dirinya tidak lagi harus
memilih, tetapi dipakasa untuk
meninggalkan Bagdad. Kini
lidahnya menjadi berat dan dirinya
merasa bosan mengajar. Keadaan
ini membuat hatinya sedih dan
kondisi fisiknya lemah, sampai-
sampai dokter putus asa
mengobatinya. Para dokter
mengatakan, “Penyakitnya
bersumber dari hati dan merembet
ke tubuhnya. Penyakitnya tidak
bisa diobati kecuali
mengistirahatkan pikiran dari
factor-faktor yang membuatnya
sakit”[10]
“Disaat menyadari ketidak
mampuan dan semua upaya telah
gagal, akupun mau tak mau harus
kembali kepada Allah dalam
keadaan yang terpaksa dan tidak
mempunyai pilihan lagi. Allah-yang
menjawab doa yang terpaksa jika
berdoa-mengabulkan niatku,
sehinngga kini terasa mudah
bagiku meninggalkan pangkat,
harta, anak, dan teman.”[11]
Sesudah mengalami masa-masa
keraguan yang cukup rumit, baik
dalam filsafat ataupun
penggunaannya dalam Ilmu Kalam,
akhirnya justru mendapatkan
kepuasan dalam penghayatan
kejiwaan dalam Sufisme, yakni
mempercayai kemutlakan dalil
kasyfi.[12] Hal ini merupakan
keunikan-keunikan atau keanehan
al-Ghazali. Mungkin karena
pengaruh lingkungan keluarga dan
masyarakat Persi masa itu yang
merupakan lahan yang subur bagi
perkembangan pemikiran dan
kehidupan sufisme. Agaknya beliau
telah sejak kecil punya penilaian
positif terhadap ajaran sufisme.
Karena memang beliau melihat dan
menghayati betapa institusi
tasawuf dapat memperdalam
keyakinan dan perasaan agama
yang mendalam, serta dapat
membina akhlaq yang luhur. Dan
ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi
propagandis sufisme yang paling
bersemangat dan paling sukses.
Misalnya, tetntang kehidupan para
sufi dan tasawuf yang
digambarkannya:
“Sungguh aku mengetahui secara
yakin bahwa para sufi itulah
orang-orang yang benar-benar
telah menempuh jalan Allah SWT,
secara khusus. Dan bahwa jalan
mereka tempuh adalah jalan yang
sebaik-baiknya, dan laku hidup
mereka adalah yang paling benar,
dan akhlaq adalah yang paling
suci. Bahkan seandainya para ahli
pikir dan para filosof yang bijak,
dan ilmu para ulama yang
berpegang pada rahasia syari’at
berkumpul untuk menciptkan jalan
dan akhlaq yang lebih baik dari
apa yang ada pada mereka(para
sufi) tidak mungkin bisa
menemukannya. Lantaran gerak
dan diam para sufi, baik lahir
ataupun bathin, dituntun oleh
cahaya kenabian. Dan tidak ada
cahaya kenabian diatas dunia ini,
cahaya lain yang bisa
meneranginya.”(mungqidz min
al-Dlalal, hal, 31). [13]
Kemudian soal pendalaman
perasaan agama dan pemantapan
iman, Al-Ghazali melihat bahwa
tasawuf adalah sarana yang hebat
untuk untuk mendukung bagi
pendalaman rasa agama
(spiritualitas Islam) dan untuk
memantapkan dan menghidupkan
iman. Dengan Ilmu kalam orang
baru bisa mengerti tentang pokok-
pokok keimanan, namun tidak bisa
menanamkan keyakinan yang
mantap dan menghidupkan
pengalaman agama. Oleh karena
itulah Tasawuflah sarana yang
paling hebat untuk mengobati
penyakit formalism dan kekeringan
rasa keagamaan ini menurut Al-
Ghazali.[14]
Yang menjadi masalah
*Mohon maaf klo ada kekurangan&kesalahan dalam tulisan ini
By:copas forum

Selasa, 07 Desember 2010

Kisah Laila Majnun

Posting by copas blog:multyfly
"Mengenali Laila Majnun sebagai
alegori perjalanan seorang hamba
untuk sampai kepada Tuhan
membawa kita pada proses
mencintai, dimana kecintaan telah
membuat Majnun (sebagai seorang
makhluk; hamba) dengan sukarela
menanggalkan egonya, memandang
dirinya dan Tuhannya sebagai suatu
kesatuan yang tak terpisahkan ,
hingga mencapai fase peniadaan
diri."
"Di sisi lain, mengenali kisah Laila
Majnun sebagai kisah cinta antar
manusia sungguh pula dapat
memberikan kenikmatan dan
pencerahan yang luar biasa. Kita
dihadapkan pada perjuangan yang
bukan saja menembus batas harga
diri, status sosial, tetapi juga
mengorbankan darah dan nyawa
dari orang-orang yang berpihak.
Perjalanan Majnun mencintai Laila;
perasaan Laila terhadap Majnun;
syair2 yang berada diantara
mereka, pilihan hidup mereka yang
mempengaruhi orang2 di sekitar
mereka, secara keseluruhan
menggambarkan berbagai sisi
kehidupan. Pada akhirnya, kisah ini
menghadirkan kepada kita nilai2
kemanusiaan yang menjadi nilai
kehidupan itu sendiri"
Pengantar ini yang buat aku tertarik
untuk beli bukunya.
Aku belum selesai baca buku ini.
Tapi ada beberapa keheranan,
bagaimana Laila dan Majnun bisa
saling mencintai sedemikian
besarnya padahal mereka hanya
bertemu beberapa kali dan
berkomunikasi juga sangat terbatas
(dalam buku ini percakapan antara
Laila dan majnun pada pertemuan
mereka juga gak ditampilkan), so
aku gak bisa menarik kesimpulan
"How can they both falling in Love?"
atau mungkin itu salah satu ke-
misterius-an cinta?
Majnun begitu larut dalam cinta dan
kesedihannya, hingga ia
membiarkan dirinya gila (dalam
buku ini Majnun beberapa kali
mengatakan bahwa ia tak mampu
mengendalikan apa yang
berkecamuk dalam dadanya, dan
menjadi gila adalah takdir yang
Tuhan gariskan untuknya). Inikah
wujud kepasrahan diri kepada
Tuhan? bagaimana kita tahu itu
takdir? kita tak pernah bisa
membaca rahasia Tuhan..Apakah
logika tak diperlukan untuk
mengungkap tabir rahasia ILahi?
Baca buku ini harus super sabar! :D
Dari awal cerita sampai halaman
pertengahan (bab terakhir yang
baru mampu aku baca) isinya penuh
dengan kata2 puisi (cerita ini
ditampilkan dengan alunan syair).
Bahkan kadang cenderung terasa
bertele2..wuihhh...
Maybe next time aku bisa
menemukan inti dan keindahan
cerita ini...
Wish me luck to finish

Senin, 06 Desember 2010

Polygami

Baca & Simax Baek2
Dialog Injil - Alquran
Terlalu sering orang-orang Kristen
mendengar pengkritik melontar
ucapan-ucapan tidak intelek dan
tanpa bukti: “Alkitabmu telah
kalian ubah“, “Alkitabmu
korup“. Kini secara fair, akankah
pengkritik berhati lapang untuk
mendapati bahwa ucapan yang
sama boleh jadi akan tertuding balik
kepada mereka? Baik! Kita berdialog
dan bukan bermonolog.
Sekalipun manuskrip asli Perjanjian
Baru tidak kita miliki, namun seperti
yang telah diperlihatkan kita
memiliki amat banyak salinan-
salinan asli versi-versi terjemahan,
dan kutipan-kutipan tekstual yang
sangat tua, yang kesemuanya
diturunkan atau diterjemahkan
dari satu sumber ajaran doktrinal
yang sama. Tuduhan bahwa isi
Perjanjian Baru ada berbagai versi,
jelas hanyalah karena pemahaman
yang salah, atau memang
kesengajaan untuk melantangkan
ucapan yang merendahkan.
Sebab isi Perjanjian Baru selalu satu,
dengan berbagai versi terjemahan.
Dalam bahasa Inggris, ada versi The
King James, The New King James,
The American Standart, Revised
Standart, dan lain-lain. Dalam
bahasa Indonesia, ada terjemahan
lama, terjemahan baru, bahasa
sehari-hari dan seterusnya (sama
halnya dengan Quran yang juga
diterjemahkan dalam banyak versi).
Namun semuanya ini
hanyalah terjemahan yang tetap
sesuai dengan salinan asli Perjanjian
Baru bahasa Yunani dan Perjanjian
Lama Ibrani yang telah terpelihara
jauh sebelum kedatangan Islam.
Penyalin-penyalin di zaman dulu
telah mempertaruhkan jiwanya dan
raganya untuk melakukan
penyalinan yang benar atas
kebenaran Firman Tuhan (ancaman
terhadap raganya didekritkan oleh
penguasa-penguasa Romawi yang
anti Kristus, dan ancaman jiwa
dipertaruhkan atas kutukan Tuhan
bagi siapa-siapa yang berani
memalsukan ayat-ayatNya).
Itu sebabnya walau ada sejumlah
ayat-ayat Alkitab yang sepintas
tampaknya sebagai tidak pas dan
sulit dicernakan, namun ayat-ayat
tersebut itupun tetap dibiarkan
berdiri tegar dalam keaslian
salinannya. Mereka tidak pernah
mengambil tindakan seperti yang
diambil oleh Khalifah Utsman yang
meresmikan satu mushaf Quran
Utsmani sambil memerintahkan
memusnahkan himpunan naskah-
naskah lainnya yang justru
merupakan naskah-naskah
primer. (Dr. Niftrik & Dr.
Boland, Dogmatika Masa Kini, hal
281).
“Utsman mengirim kepada setiap
propinsi satu Kitab yang telah
mereka salin, dan memerintahkan
agar semua naskah-naskah Al Quran
yang lain, apakah dalam bentuk
yang terbagi-bagi, atau yang
lengkap, harus dibakar” (Hadis
Shahih Bukhari, VI, Hal 476).
Perintah pemusnahan oleh Utsman
ini terjadi setelahteam panitia Zaid
(bersama 3 orang lainnya yang
ditunjuk oleh Utsman) berhasil
menyusun ulang naskah-naskah
Quran dalam satu standar baru
yang disebutMushaf Utsmani demi
menggantikan “koleksi naskah
Abu bakar/Hafsah” dan semua
koleksi naskah Quran atau lepasan-
lepasannya yang ada sebelumnya.
Perlu Kritis
Disinilah pembaca perlu kritis
bertanya ada apa dibalik perintah
pemusnahan terhadap naskah-
naskah primer yang begitu penting
itu yang seharusnya justru
diamankan sebagai bukti sejarah
dan bukti keotentikan?
Periksalah dengan cermat berbagai
informasi asli dari hadis dan Sirat
dan lain-lain tulisan (yang jarang
ditampilkan) dan jangan otomatis
menerima begitu saja tulisan-tulisan
dari satu pihak (yang sering
disodorkan).
Kita tahu bahwa Quran hingga
meninggalnya Muhammad,
merupakan ayat-ayat yang masih
direferensikan secara oral.
Berlawanan dengan apa yang
sering diasumsikan bahwa diakhir
hidup Muhammad semua ayat-ayat
sudah tertulis seolah-olah sudah
lengkap, tertib, terurut dan dihafal
teratur dalam bimbingan
Muhammad, namun fakta-fakta
mendasar berbicara lain daripada
asumsi umum.
Ada satu tokoh penting yang
tampak-tampaknya “tidak begitu
setuju” dengan asumsi orang-
orang tentang telah
tersusunnya ketertiban urutan,
kepersisan, dan kelengkapan ayat-
ayat tersebut. Orang itu tak lain tak
bukan adalah Zaid bin Tsabit, juru
tulis utama dari Muhammad sendiri.
Walau dirinya juga penghafal dan
pencatat ayat-ayat, namun ia toh
merasa begitu tidak yakin ketika
dimintai oleh Khalifah Abu Bakar
untuk mengumpulkan Quran dan
menyusunnya secara urut, tertib,
utuh dan benar. Hal ini bisa
dimengerti mengingat terdapat
begitu banyak lepasan-lepasan ayat
yang “direkam” sendiri-sendiri
pada daun, batu, tulang, pelepah,
kulit, kayu dan ingatan-ingatan di
otak diantara tiap individu-individu
yang berbeda.
Kerisauan zaid yang amat sangat ini
tentu harus diartikan bahwa ayat-
ayat yang ada masih sangat
“berserakan” dan sama sekali
tidak mudah dihimpun dalam aturan
“pewahyuan langsung” yang
tidak mentolerir kesalahan yang
terkecil sekalipun! Itu sebabnya Zaid
menjawab permintaan Abu bakar
dengan kata-kata yang
mencerminkan luar biasa berat
tugas tersebut:
“Demi Allah! Ini adalah pekerjaan
yang berat bagiku. Seandainya aku
diperintahkan untuk memindahkan
sebuah bukit, maka hal itu tidaklah
lebih berat bagiku daripada
mengumpulkan Al Quran yang
engkau perintahkan itu” (Al Quran
Dan Terjemahannya,Departemen
Agama RI, Muqaddimah, hal 23)
Hanya dengan bujukan dan
permintaan yang kuat dari
pemimpin pemerintahan, maka
akhirnya Zaid menerima tugas
raksasa ini. Akhirnya ia berhasil
menghimpun naskah Quran dalam
lembaran-lembaran tertulis untuk
pertama kalinya dalam tahun 12 H.
Lembaran-lembaran “naskah Abu
Bakar” inilah yang dianggap
lengkap dan resmi sepanjang 2
Khalifah pertama.
Dan seterusnya ia disimpan oleh
Hafsah (puteri Umar dan istri
Muhammad), hingga digantikan
oleh Mushaf Utsman di tahun 26 h,
sejak dekrit Utsman dikeluarkan
untuk memusnahkan semua
naskah-naskah Quran yang lain.
Tetapi disamping koleksi naskah
Abu Bakar/Hafsah ini, terdapat pula
koleksi-koleksi tertulis lainnya yang
berwibawa seperti koleksi
naskah Ali bin thalib, jugaUbai bin
Ka’b dan Ibn Mas’ud. Mereka
adalah tokoh dan sahabat-sahabat
Muhammad yang paling dekat yang
adalah saksi-saksi mata dan telinga
dari segala apa yang diucapkan
Muhammad. Mereka sendiri-sendiri
menyusun koleksi ayat-ayat seperti
apa yang mereka dengar dari
Muhammad, diingat, dicatat,
ataupun disalin diantaranya dari
pemilik ayat lainnya. (TQTB, hal
110).
Dengan dekrit Utsman, maka koleksi
Ali dan Ubai segera termusnah.
Namun koleksi Abu Bakar/
Hafsahbelum bisa dibakar pada
waktu itu karena Utsman sendiri
masih terikat dengan sumpahnya
untuk mengembalikannya kepada
Hafsah setelah dipinjamnya dalam
rangka standarisasi naskah oleh
panitia Zaid. Dari kutipan Kitab Al-
Masahif oleh Ibn Abi Dawud (isnad
Salim bin Abdulla), Dr. Campbell
menulis sebagai berikut:
“Setelah Utsman
meninggal, Marwan yang gebernur
Medina itupun mengirim utusan
kepada Hafsah untuk menuntut
pemusnahan koleksi ini. Hafsah
menolak dan mempertahankannya
hingga akhir hayatnya. Namun
Marwan begitu bernafsu untuk
mendapatkannya, sehingga ketika
Hafsah meninggal, sebegitu selesai
melayati penguburannya,
Marwanpun segera mengirim
utusan untuk mendapatkan koleksi
Abu Bakar itu Akhirnya kakak
Hafsah (Abdullah bin Umar)
mengirimkannya juga kepada
Marwan, dan musnahlah koleksi
naskah yang paling primer ini
dibawah perintah Marwan.”
Lalu bagaimana dengan koleksi
naskah Ibn Mas’ud?
Walau perintah pemusnahan telah
dikirim oleh Utsman kepada Ibn
Mas’ud di Irak namun Mas’ud –
seperti halnya Hafsah – menolak
untuk membakar naskahnya (walau
akhirnya hilang di masa Ijtihad
(TQTB, hal 118,121). Kenapa berani
menolak?
*). Hadis Shahih Bukhari V, hal 96,97
dan Hadis Shahih Muslim IV, hal
1313 dimana nama Ibn Mas’ud
disebut paling pertama oleh
Muhammad diantara 4 orang yang
pantas mengajar mengaji Quran:
“Belajarlah mengaji Quran dari 4
orang: dari Abdullah bin Mas’ud,
Salim – budak Abu Hudaifa yang
telah dibebaskan, Mu’ad bin
Jabal’, dan Ubai bin Ka’b”
Tentu saja karena ia merasa
naskahnyalah yang paling
berwibawa. Dan hal ini tidak bisa
dikatakan salah karena tradisi
memang mengatakan kepada kita
bahwa diantara pengikut-pengikut
Muhammad maka Ibn Mas’ud-lah
yang dianggap Muhammad
mempunyai otoritas terbaik
mengenai teks dan mengaji Al
Quran.*).
Ibn Mas’ud –lah yang termasuk
salah satu dari guru-guru mengaji
yang paling awal. Dia pulalah yang
menjadi saksi mata yang hadir atas
2 peperangan penting bersama
Muhammad, yaitu perang Badar dan
Uhud. Ia juga yang
mendemonstrasikan mampu
mengaji hingga lebih dari 70 Surat
dalam suatu acara khusus yang juga
dihadiri Muhammad, dan tidak ada
seorangpun dari yang hadir disitu
yang menyalahkan pengajiannya
(Hadis Shahih Muslim IV, hal 1312).
Dan koleksi naskah Ibn Mas’ud
yang dianggap berotoritas itu
ternyata berbeda teks dengan
naskah-naskah lainnya, termasuk
berbeda dengan naskah Abu Bakar/
Hafsah (John Gilchrist, The Textual
History of the Quran and the Bible,
Villach, Light of Life, 1988, hal 18).
Dalam perselisihan
mempertahankan keabsahan
naskah masing-masing, tradisi
mencatat bahwa antara sesama
Muslim (tentara-tentara Irak yang
pro koleksi Ibn Mas’ud dan
tentara-tentara Syria yang pro
koleksi Ubai) sampai saling
menuduh pihak yang lainnya
sebagai tidak beriman. (TQTB, hal
111).Tuduhan “kafir” ini
tentunya tidak akan diberikan
bilamana perbedaan-perbedaan
naskah diantara pihak-pihak yang
berselisih itu hanyalah marginal dan
tidak dianggap sebagai serius.
Arthur Jefferey, seorang arkeolog
terkemuka Eropa menulis buku
berjudul “Materials for the History
of the Text of the Quran“, dimana
ia menyingkapkan semua
perbedaan teks naskah primer
Quran sebelumdistandarisasi oleh
Utsman.
Jefferey memaparkan bahwa
perbedaan bacaan bukanlah
semata-mata dalam masalah ejaan
atau dialek (seperti yang sering
diperdengarkan oleh orang-orang
Muslim) melainkan menyangkut
pula anak kalimat, atau bahkan
kalimat penuh sehingga Jefferey
menyimpulkan “amat jelas bahwa
teks Mushaf yang dikanonisasi oleh
Utsman hanyalah salah satu dari
banyak teks tandingan. (N.L. Geisler
& Abdul Saleeb,Answering Islam,
Michigan, backer books, 192)
Mengejutkan bahwa ditemukan
begitu banyak teks koleks