“Ketika masih muda,
aku menyelami samudera yang
dalam ini. Aku menyelaminya
sebagai penyelam handal dan
pemberani, buka sebagai penyelam
penakut dan pengecut. Aku
menyerang setiap kegelapan dan
mengatasi semua maslah,
menyelami kegoncangan. Aku teliti
aqidah setiap kelompok dan
menyingkap rahasia cara pikir
setiap golongan, agar aku bisa
membedakan antara kelompok
yang memperjuangkan kebenaran
dan kelompok yang
memperjuangkan kebathilan, agar
bisa membedakan antara pengikut
sunnah dan pencipta bid’ah”.
. A. Al-Ghazali dan Tasawuf
Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’
besar yang sanggup menyusun
kompromi antara syari’at dan
hakikat atau tasawuf menjadi
bangunan baru yang cukup
memuaskan kedua belah pihak,
baik dari kalangan syar’I
ataupun lebih-lebih kalangan sufi.
[1]
Berbagai macam buku yang
membahas tentang sepak terjang
Al-Ghazali yang tumbuh kembang
pada masa dimana banyak muncul
mazhab dan goolngan. Ketika itu,
beragam kecenderungan berfikir,
baik yang bernuansa agama
maupun rasio, berbenturan dan
beradu argumentasi. Al-Ghazali
merasakan dirinya di antara
mazhab yang terpecah belah,
kelompok-kelompok perusak,
filsafat asing dan bid’ah-bid’ah
pemikiran. Sehigga tergambar
dalam bait kata-katanya yang
begitu menggugah hati dengan
gemuruh semangat dan
keberanian;
“ketika masih muda, aku
menyelami samudera yang dalam
ini. Aku menyelaminya sebagai
penyelam handal dan pemberani,
buka sebagai penyelam penakut
dan pengecut. Aku menyerang
setiap kegelapan dan mengatasi
semua masalah, menyelami
kegoncangan. Aku teliti aqidah
setiap kelompok dan menyingkap
rahasia cara pikir setiap golongan,
agar aku bisa membedakan antara
kelompok yang memperjuangkan
kebenaran dan kelompok yang
memperjuangkan kebathilan, agar
bisa membedakan antara pengikut
sunnah dan pencipta bid’ah”.
[2]
Dengan demikian tidak ayal al-
Ghazali merasakan dirinya
berhadapan dengan samudera
luas, dengan gulungan ombak
yang sangat dahsyat dan dalam.
Dia tidak memposisikan dirinya
sebagai “penggembira” yang
hanya ikut-ikutan dalam
gelombang dahsyat itu. Dia tidak
merasa takut terhadap luasnya
samudera, kedalaman dasar
samudera dan besarnya
gelombang. [3]
Dasar ajaranTasawuf adalah cinta
rindu untuk berhubungan dengan
kekasihnya Allah SWT, dan berasik-
maksyuk dengan Dia.[4]
Perkembangan yang cukup
menarik adalah timbulnya
kesadaran dari dalam untuk
memoderasi ajaran Tasawuf, dan
untuk mengeliminir konflik antara
syari’at dan tasawuf atau
hakikat. Upaya ini walaupun tidak
akan berhasil memuaskan
sepenuhnya, namun cukup
konstruktif dan positif.
Pertentangan antara hakikat dan
syari’ah bisa diperkecil. Namun
sebaliknya menimbulkan konflik ke
dalam antara golongan yang lebih
ortodoks dengan sufisme murni
yang lebih heterodoks (pantheis).
Disamping itu kelemahan yang
mendasar dari kompromi ini,
umumnya terletak pada
penghargaan terhadap Tasawuf
(hakikat) selalu dipandang lebih
tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali
misalnya membagi iman menjadi
tiga tingkat, dan yang paling tinggi
adalah para arifin (sufi). Ajaran ini
diterangkan sebagai berikut;
“Keimanan tingkat awal, imannya
orang-orang awam, yakni iman
dasar taklid.
Tingkat kedua, imannya para
mutakallimin (teolog), atas dasar
campuran (taklid) dengan sejenis
dalil.
Tingkatan ini masih dekat dengan
golongan awam.
Tingkat ketiga, imannya para arifin
(sufi) atas dasar pensaksian secara
langsung dengan perantara nurul
yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III,
hal. 15).[5]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa
ahli ilmu kalam, filosof dan kaum
Batiniyah tidak mampu
mengantarkannya mencapai
keyakinannya dan hakikat, maka
dia melirik tasawuf yang menurut
pandangannya adalah harapan
terakhir yang bisa memberikannya
kebahagiaan dan keyekinan. Ia
mengatakan, “setelah aku
mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam,
filsafat, dan ajaran bathiniyah),
aku mulai menempuh jalan para
sufi.”[6]
Para sufi banyak berbicara tentang
kasyf dan mu’ayanah, mampu
berhubungan dengan alam
malakut dan belajar darinya secara
langsung, mampu mengetahui
lauhul-mahfuzh dan rahasia-
rahasia yang dikandungnya.
Namun, bagaimanakah caranya
agar manusia mampu
mendapatkan kasyf dan
mu’ayanah? Para sufi menjawab,
caranya dengan menuntut ilmu
dan mengamalkan ilmu yang
didapatkan. Al-Ghazali
mengatakan, “Aku tahu bahwa
tarekat mereka menjadi sempurna
dengan ilmu dan amal”[7]
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli
mulai mendapatkan ilmu kaum sufi
dari kitab Qut Al-Qulub
Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu
Thalib Al-Makki dan kitab Ar-
Ri’ayah li Huquq Allah karya
Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-
ucapan pucuk pimpinan sufi
semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-
Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali
mengatakan, “Mendapatkan ilmu
Tasawuf bagiku lebih mudah dari
pada mengamalkannya. Aku mulai
mempelajari ilmu kaum sufi dengan
menelaah kitab-kitab dan ucapan-
ucapan guru-guru mereka. Aku
mendapatkan ilmu dengan cara
mendengar dan belajtar.
Nampaklah bagiku bahwa
keistimewaan guru besar sufi tidak
mungkin digapai dengan cara
belajar, tetapi dengan cara dzauq,
hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara
Tahalli (menghias diri dengan sifat-
sifat utama), Tkhalli
(membersihkan firi dari sifat-sifat
yang rendah dan tercela) agar
manusia dapat memberesihkan
hati dari pikiran selain Allah dan
menghias hati dengan berzikir
kepadaNya. Al-Ghazalai
mengatakan, “Adapu manfaat
yang dicapai dari ilmu sufi adalah
terbuangnya aral yang merintangi
jiwa, mensucikan diri dari
akhlaknya yang tercela dan
sifatnya yang kotor, hingga
dengan jiwa yang telah bersih itu
hati menjadi kosong dari selain
Allah dan dihiasi dengan dzikir
kepada Allah.”[8]
Di dalam kitab-kitab Ihya’
‘Ulumuddin, Al-Ghazali menulis,
“Bagi hati, ada dan tiadanya
sesuatu adalah sama. Lantas,
bagaimanakah hati meninggalkan
semua urusan Dunia? Demi Allah,
ini adalah jalan yang sangat sukar;
jarang sekali ada manusai yang
sanggup melakukannya”[9]
Cukup lama Al-Ghazali berada
dalam situasi tarik menarik antara
dorongan hawa nafsu dan
panggilan akhirat, hingga akhirnya
ia merasa dirinya tidak lagi harus
memilih, tetapi dipakasa untuk
meninggalkan Bagdad. Kini
lidahnya menjadi berat dan dirinya
merasa bosan mengajar. Keadaan
ini membuat hatinya sedih dan
kondisi fisiknya lemah, sampai-
sampai dokter putus asa
mengobatinya. Para dokter
mengatakan, “Penyakitnya
bersumber dari hati dan merembet
ke tubuhnya. Penyakitnya tidak
bisa diobati kecuali
mengistirahatkan pikiran dari
factor-faktor yang membuatnya
sakit”[10]
“Disaat menyadari ketidak
mampuan dan semua upaya telah
gagal, akupun mau tak mau harus
kembali kepada Allah dalam
keadaan yang terpaksa dan tidak
mempunyai pilihan lagi. Allah-yang
menjawab doa yang terpaksa jika
berdoa-mengabulkan niatku,
sehinngga kini terasa mudah
bagiku meninggalkan pangkat,
harta, anak, dan teman.”[11]
Sesudah mengalami masa-masa
keraguan yang cukup rumit, baik
dalam filsafat ataupun
penggunaannya dalam Ilmu Kalam,
akhirnya justru mendapatkan
kepuasan dalam penghayatan
kejiwaan dalam Sufisme, yakni
mempercayai kemutlakan dalil
kasyfi.[12] Hal ini merupakan
keunikan-keunikan atau keanehan
al-Ghazali. Mungkin karena
pengaruh lingkungan keluarga dan
masyarakat Persi masa itu yang
merupakan lahan yang subur bagi
perkembangan pemikiran dan
kehidupan sufisme. Agaknya beliau
telah sejak kecil punya penilaian
positif terhadap ajaran sufisme.
Karena memang beliau melihat dan
menghayati betapa institusi
tasawuf dapat memperdalam
keyakinan dan perasaan agama
yang mendalam, serta dapat
membina akhlaq yang luhur. Dan
ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi
propagandis sufisme yang paling
bersemangat dan paling sukses.
Misalnya, tetntang kehidupan para
sufi dan tasawuf yang
digambarkannya:
“Sungguh aku mengetahui secara
yakin bahwa para sufi itulah
orang-orang yang benar-benar
telah menempuh jalan Allah SWT,
secara khusus. Dan bahwa jalan
mereka tempuh adalah jalan yang
sebaik-baiknya, dan laku hidup
mereka adalah yang paling benar,
dan akhlaq adalah yang paling
suci. Bahkan seandainya para ahli
pikir dan para filosof yang bijak,
dan ilmu para ulama yang
berpegang pada rahasia syari’at
berkumpul untuk menciptkan jalan
dan akhlaq yang lebih baik dari
apa yang ada pada mereka(para
sufi) tidak mungkin bisa
menemukannya. Lantaran gerak
dan diam para sufi, baik lahir
ataupun bathin, dituntun oleh
cahaya kenabian. Dan tidak ada
cahaya kenabian diatas dunia ini,
cahaya lain yang bisa
meneranginya.”(mungqidz min
al-Dlalal, hal, 31). [13]
Kemudian soal pendalaman
perasaan agama dan pemantapan
iman, Al-Ghazali melihat bahwa
tasawuf adalah sarana yang hebat
untuk untuk mendukung bagi
pendalaman rasa agama
(spiritualitas Islam) dan untuk
memantapkan dan menghidupkan
iman. Dengan Ilmu kalam orang
baru bisa mengerti tentang pokok-
pokok keimanan, namun tidak bisa
menanamkan keyakinan yang
mantap dan menghidupkan
pengalaman agama. Oleh karena
itulah Tasawuflah sarana yang
paling hebat untuk mengobati
penyakit formalism dan kekeringan
rasa keagamaan ini menurut Al-
Ghazali.[14]
Yang menjadi masalah
*Mohon maaf klo ada kekurangan&kesalahan dalam tulisan ini
By:copas forum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar